Mengulas informasi seputar bisnis dan gaya hidup.

Serial Wahsyi: “Kebebasan…!”

Sesuai dengan janji saya untuk melakukan pengetikan ulang sebuah novel karya Najib Kailani yang pernah diterbitkan oleh Syaamil, "Wahsyi Si Pembunuh Hamzah". Saya akan coba awali serial Wahsyi di blogdangkal™ :) Bismillah...

MALAM semakin larut. Kegelapan kian pekat menyelimuti alam sekitar. Mekah tampak tak terlihat dalam kegelapan malam yang semakin sunyi. Bintang gemintang juga tak berani menampakkan diri, kecuali temaram sinarnya yang redup di kejauhan. Rumah-rumah penduduk yang berdiri di sepanjang jalan kota Mekah juga tampak samar-samar sekali.

Suasana sunyi dalam balutan sepi sungguh terasa di setiap sudut kota itu. Itulah kesunyian malam yang dibaliknya bersembunyi gejolak emosi meluap-luap, dendam membara yang terbawa dalam tidur penduduknya, dan harapan mulia yang dilumuri kebimbangan dan kekerasan hati.
Esok adalah hari pembalasan dendam. Esok, pasukan Quraisy akan berangkat menuju medan perang bersama balatentara dan pasukannya untuk menuntut balas kepada Muhammad.

Hindun tak akan mungkin melupakan Perang Badar—perang yang mengabadi itu—saat kaum Muslimin berhasil membunuh beberapa tokoh Mekah dan prajuritnya serta menawan sejumlah besar balatentara mereka.

Dalam rengkuhan kegelapan malam itu, di luar kota, tampak seorang lelaki sedang duduk bersama dengan seorang gadis. Mereka hanya berdua , menyepi, jauh dari tatapan mata manusia. Terkadang lelaki itu tampak kebingungan. Sementara, si gadis hanya diam menunduk. Rasa sedih menyergap dadanya dan melihat kekasihnya diselimuti kebimbangan.

“Ada apa gerangan denganmu, Wahsyi?”

“Aku merasakan terjangan topan menerjang jiwa.”

“Mengapa engkau tidak menjalani hidup ini dengan kesederhanaan dan kelapangan hati? Sesungguhnya aku ingin menikmatinya dengan nyaman, tetapi engkau selalu berusaha menyingkirkan kenikmatan yang telah kurasakan ini.”

Wahsyi menolehkan wajahnya yang hitam kelam itu kepada sang gadis yang duduk di sampingnya, lalu berkata, “Kita hanyalah seorang hamba yang tak dapat menikmati apa yang ada di hadapan kita. Kehidupan kita selalu lekat dengan kesulitan, berteman kehinaan, keburukan, dan kesedihan. Kebahagiaan hanya bisa kita dengar tanpa kita mampu meraba, apalagi merasakannya. Maka janganlah engkau berbicara tentang kelapangan dan kesederhanaan hidup.”

Sang gadis hanya berpegang erat pada bahu kekasihnya yang kekar. “Celakalah engkau, Wahsyi! Sesungguhnya saya hanya hidup di rumah majikanku, bekerja dan tidur, makan dan minum. Saya mencuri-curi kesempatan itu untuk tetap berada di sampingmu karena saat seperti inilah saya merasakan kenikmatan paling besar. Untuk inilah saya diciptakan. Lalu, mengapa seorang sahaya sepertiku menghendaki sesuatu yang lebih besar dari ini semua?”

Wahsyi hanya tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan gadisnya. “Kebebasan…!” [bersambung]